Seks Dulu Baru Cinta





Mungkin, judul dalam tulisan ini terdengar sangat mengerikan (dan sedikit clickbait). Saya membayangkan sebagian orang yang membaca ini (apalagi mereka-mereka yang biasanya sealiran dengan psikolog Ellie Risman) akan berkata "Astaghfirulloh," sambil mengelus dada ketika membaca judul tulisan ini. Bisa jadi saya akan dituduh mengajarkan sesuatu yang tidak baik bagi anak muda, semacam ajakan untuk melakukan hubungan seks sebelum pernikahan.

Hei, santai dulu. 

Saya sama sekali tidak sedang membicarakan boleh atau tidaknya berhubungan seks dulu sebelum menikah. Bukan itu poin tulisan random ini. Akan tetapi, ada baiknya Anda yang membaca ini bisa membaca dengan mengesampingkan dulu perkara seks dalam kerangka berpikir agamais. Deal? 

Di sini saya ingin menerangkan bahwa dalam skala waktu evolusi manusia, (hubungan) seks hadir dulu baru kemudian ada cinta. Melalui kesimpulan ini saya ingin mengatakan bahwa cinta adalah salah satu produk dari evolusi manusia. Cinta tidak diciptakan (atau tercipta) untuk membuat dunia ini indah, damai, dan semacamnya, namun cinta antara 2 manusia adalah sekedar hasil produk evolusi yang dianggap "menguntungkan" bagi kelangsungan hidup manusia. 

(Ngomong-ngomong, ini semua sekedar uthak athik gathuk tapi agak ilmiah ya. Tulisan saya di sini sebagian cuma sekedar hasil analisis saya. Saya hanya mengambil kesimpulan dari sedikit pengetahuan yang saya tahu, tentang evolusi, tentang seks, dan tentang cinta.... *uhuk-uhuk*... Dan saya kira, cukup banyak artikel ilmiah (terutama dari situs favorit saya psychologytoday.comyang lebih mampu menawarkan sesuatu yang lebih komprehensif, lengkap, dan bisa dipertanggungjawabkan tentang ini. Tapi biarlah saya menulis dengan bahasa saya sendiri.....)

....

SEKS DAN CINTA




Ngomongin evolusi dan seleksi alam, maka kita perlu mengetahui bahwa tujuan "hidup" makhluk hidup murni hanya untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Manusia, tentu saja berkembang biaknya dengan berhubungan seks (coitus/intercourse/persenggamaan).

Apa itu cinta? Dalam pengertian biasa dan konteks hubungan antara 2 orang berpasangan, cinta diartikan sebagai ketertarikan antara dua orang manusia yang melibatkan emosi dan kasih sayang. Sedangkan secara saintifik, "pakar cinta" Helen Fisher mengatakan bahwa cinta berfungsi untuk melanjutkan keturunan dan menjaga manusia untuk tetap bersama. Secara biologis dan neurosaintifik, diketahui bahwa otak manusia yang jatuh cinta melibatkan senyawa kimia seperti dopamin, serotonin, hingga oksitosin. Konon katanya, efek jatuh cinta sama dahsyatnya dengan penggunaan kokain.

Waktu ABG, saya merasa cinta adalah keinginan "berpacaran" dengan gebetan, mesra-mesraan dan romantis-romantisan. Saya tidak pernah merasa cinta sebagai sebuah keinginan seksual. Namun setelah dewasa, saya menyadari bahwa cinta antara dua orang manusia juga hampir selalu melibatkan keinginan seksual. Sesuatu yang terdengar naif, lugu, dan romantis rupanya juga melahirkan keinginan untuk bergumul di ranjang. Dulu (sampai sekarang juga sih), saya merasa cinta tingkatannya lebih tinggi daripada hasrat seks. Mungkin ini karena faktor dogma dalam otak saya yang memandang seks sebagai sesuatu yang kotor dan hina, sesuatu hewani dari sifat natural manusia. Namun dalam perspektif lain, hubungan seks juga biasa disebut bercinta (making love), yang mengartikan bahwa berhubungan seks adalah suatu aktivitas yang indah dan romantis ketika dilakukan dua orang yang sedang jatuh cinta (atau dalam kerangka berpikir agamais: sudah berada dalam mahligai pernikahan).

Intinya, cinta antara dua orang pada akhirnya hampir selalu melibatkan keinginan untuk berhubungan seks (kecuali Anda aseksual, tapi tho populasi manusia aseksual di dunia diperkirakan hanya sekitar 1-3%).

Berhubung saya kurang kerjaan, saya suka membaca artikel-artikel psikologi yang berkaitan dengan cinta, pernikahan, dan seks (padahal nikah aja belum). Lalu saya mendapat kesimpulan bahwa salah satu pondasi pernikahan yang bahagia ga melulu ada pada hal-hal yang sifatnya emosional semacam kepercayaan, kasih sayang, keterbukaan, saling dukung mendukung, dll.... namun juga hubungan fisik yang harmonis di ranjang! Betapa kualitas hubungan harus dibangun dari 2 perkara: emosi dan fisik, lahir dan batin. Saya juga sering mendengar, bahwa 2 masalah terbesar penyebab perceraian pasangan adalah ekonomi dan sex.

Setiap orang punya pandangan sendiri-sendiri soal seks, entah apakah Anda melihat hubungan seks sebagai aktivitas yang bersifat pleasure, atau sekedar kebutuhan untuk disalurkan, atau cuma aktivitas prokreasi (berkembang biak) yang harus dikontrol seekstrim mungkin, atau memandang seks sebagai sesuatu yang tabu dan tidak pantas dibicarakan bersama-sama dalam diskusi ilmiah sekalipun. Namun seks, - diakui atau tidak, suka atau tidak suka - merupakan salah satu hal penting dalam hubungan antara dua orang manusia.

Lalu saya membayangkan, nenek-nenek moyang kita jaman dahulu - spesies-spesies pendahulu sebelum Homo Sapiens yang kapasitas otaknya masih kecil dengan kemampuan berpikir yang masih sangat sederhana, tentu melakukan persenggamaan hanya sekedar dorongan atau insting natural untuk berkembang biak, bukan "do it" untuk cinta atau bahkan boro-boro untuk ibadah. Cinta dalam pengertian modern tentu saat itu belum ada. Maka, bisa disimpulkan bahwa seks hadir lebih dahulu dari cinta, dan tentu saja jauh sebelum konsep monogami dan pernikahan. Dengan kata lain. cinta adalah kelanjutan dari insting berhubungan seks.

Jika ditinjau dari kerangka berpikir biologi evolusioner, maka kita bisa melihat cinta sebagai produk evolusi yang fungsional. Lalu timbul pertanyaan, kenapa sih evolusi manusia menghasilkan "cinta" antara dua orang manusia? Kenapa dalam proses manusia bereproduksi memerlukan "cinta" dan "kasih sayang"? Kenapa ada pernikahan? Apakah manusia adalah makhluk yang fitrahnya monogami?

...

CINTA SEBAGAI PRODUK EVOLUSI YANG FUNGSIONAL




Apa fungsi cinta?

Setiap makhluk hidup punya caranya sendiri dalam berkembang biak dan bertahan hidup, termasuk manusia. Kebetulan karena saya punya kucing di rumah dan suka memperhatikan kelakuan hewan ini, mari kita bandingkan cara hidup kucing dan manusia.

Kucing betina yang sedang birahi akan dikejar-kejar oleh kucing pejantan, dan selama musim kawin ini kucing betina akan melakukan aktivitas seksual yang bikin ngelus dada jika dilakukan manusia. Si betina akan berhubungan seks dengan banyak kucing pejantan sekaligus. Kucing betina saya bisa diantriin hingga 3 cowok selama musim kawin ini (gang bang versi kucing) dan bisa melahirkan anak dengan bapak yang berbeda dalam satu kehamilan. Setelah hamil, kucing betina tidak akan birahi lagi, sampai ia kemudian melahirkan, hingga biasanya tiga bulan setelah melahirkan. Dalam proses kelahiran hingga merawat anak, kucing betina akan mengurus anaknya sendirian tanpa perlu bantuan si pejantan (dimana si pejantan udah cari cewek lagi). Tentu ini adalah proses berkembang biak yang sangat berbeda dengan manusia, dimana pada manusia, si Bapak biasanya ikut bertanggung jawab dalam merawat dan membesarkan anak.

Tapi, kesamaan apa yang dimiliki kucing dan juga dimiliki manusia? Cinta antara ibu (induk) dan anak.

Saat proses kehamilan, pada minggu-minggu akhir menjelang kelahiran diketahui bahwa hormon oksitosin ibu akan meningkat. Oksitosin juga akan dirilis pada saat proses kelahiran. Hormon ini diduga merupakan hormon yang berperan besar dalam menciptakan ikatan cinta dan kasih sayang antara ibu dan anaknya. So, "cinta antara ibu dan anak" - yang dihasilkan dari hormon oksitosin - menggerakkan sang ibu untuk menyayangi dan merawat anaknya. Dengan merawat anaknya, maka kelangsungan spesiesnya bisa terjamin. Dan tahukah kamu, oksitosin juga dirilis oleh manusia setelah berhubungan seks?

Tapi, kenapa manusia tidak seperti kucing? Kenapa manusia butuh cinta antara lelaki dan perempuan?

Manusia adalah salah satu makhluk hidup dengan keunikan tersendiri. Keunikan paling spesial adalah kemampuan berpikir kita yang menjadikan otak manusia sebagai salah satu organ paling penting. Dalam rentang waktu skala evolusi yang relatif singkat, diketahui kapasitas otak manusia berkembang lebih besar secara signifikan (yang berhubungan dengan kemampuan berpikir manusia), yang membuat ukuran kepala manusia juga lebih besar. Otomatis, ukuran kepala bayi manusia juga jadi lebih besar dibandingkan ukuran bayi nenek moyangnya. Namun, pembesaran ukuran otak dan lingkar kepala manusia ini tidak diimbangi dengan pembesaran organ reproduksi wanita. Akibatnya, bayi manusia harus sudah dilahirkan saat ukuran kepalanya cukup untuk melewati vagina induknya, dengan konsekuensi bayi yang dilahirkan tersebut dalam kondisi yang belum cukup kuat atau mandiri. Bayi manusia sangat lemah jika dibandingkan bayi hewan lainnya. Bandingkan dengan kucing, dimana kucing dalam usia 6 bulan sudah bisa mandiri dan terlepas dari induknya, atau bahkan bayi gajah yang langsung bisa berdiri 30 menit sejak dilahirkan. Sementara bayi dan balita manusia cenderung mengalami pertumbuhan yang sangat lamban dan butuh waktu bertahun-tahun dalam asuhan ibunya. (1)

Maka, manusia "mengembangkan" mekanisme-nya sendiri dalam pola pengasuhan anak yang ideal. Mekanisme yang dalam konteks seleksi alam terbukti paling baik dalam proses kelangsungan hidup spesies kita ini. Apakah itu? Cinta!

Pada spesies manusia, pola pengasuhan anak yang paling ideal adalah saat Bapak turut serta dalam merawat dan membesarkan anak. Enggak seperti kucing pejantan yang cuma mau enaknya aja terus kabur. Maka terciptalah pembagian tugas: sang ibu hamil, melahirkan dan membesarkan anak, sedangkan Bapak akan pergi berburu mencari makanan (nafkah) dan memberi perlindungan untuk sang ibu dan anaknya. Selanjutnya adalah hipotesis berikut: agar sang Bapak dan sang Ibu bisa tahan untuk stick with each other for so long.... evolusi kemudian menciptakan produk hormon cinta agar keduanya bisa langgeng bersama. Cinta menghasilkan dopamin dan serotonin yang disebut dengan hormon kebahagiaan, namun dalam jangka panjang juga ada hormon oksitosin (suka disebut dengan "cuddling hormone") yang lebih berkontribusi sebagai "attachment". Hormon yang diketahui juga dikeluarkan saat kita orgasme kala berhubungan seks.

Baru-baru ini saya juga membaca sebuah penelitian tentang hubungan antara testosteron dan pengaruhnya terhadap long-term relationship. Hormon testosteron erat kaitannya dengan sifat kompetitif dan sex-drive manusia. Pada lelaki hormon ini dihasilkan oleh testis, sedangkan pada perempuan oleh ovari. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa lelaki yang telah berada dalam hubungan jangka panjang memiliki kadar testosteron yang lebih rendah dibandingkan lelaki yang single maupun yang baru berpacaran. Hal ini rupanya berkaitan dengan fokus yang berubah, dari "mating" ke "parenting". Penelitian lain menunjukkan bahwa hormon testosteron yang lebih rendah pada lelaki dalam long-term relationship berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan, mengurangi kecenderungan untuk selingkuh, dan mengurangi probabilitas untuk bercerai dibandingkan mereka dengan hormon testosteron yang lebih tinggi. (2) (3).

Namun yang perlu dipertanyakan adalah: bagaimana 2 hal ini berkaitan dalam sebab-akibat? Apakah kita "happy marriage" dulu baru punya level testosteron yang rendah, ataukah level testosteron yang rendah dulu baru kita punya "happy marriage"? Entah apapun jawabannya, yang jelas ini merupakan salah satu penelitian lagi yang mendukung bahwa "takdir" manusia tidak terlepas dari kinerja senyawa materialis dalam tubuh. Sebagaimana halnya cinta yang merupakan perwujudan kinerja hormon-hormon dalam tubuh.

Mungkin rasanya perkara cinta ini terlalu disederhanakan jika kita hanya meninjau secara materialis, namun ya begitulah... cinta adalah aktivitas kimiawi di otak yang membuat kita menyayangi manusia lainnya. Somehow, tubuh kita bekerja dengan sendirinya untuk menghasilkan dan mengembangkan "hormon cinta" demi kelangsungan hidup spesies kita sendiri.

...

MONOGAMI ITU TIDAK SEROMANTIS ITU...



Tidak ada yang lebih romantis dari sepasang manusia yang jatuh cinta, berjanji untuk saling setia, lalu tetap mampu saling mencintai hingga maut memisahkan. Perhatikan, saya menyebut kata "sepasang", itu artinya saya sedang membicarakan monogami. Saya nggak pernah mendengar cerita tentang kisah poligami yang romantis, bahkan saya kesulitan memahami ada orang yang menganut konsep open relationship atau polyamori, karena buat saya seharusnya cinta itu tidak bisa dibagi-bagi. Hampir selalu yang romantis-romantis itu bersifat monogami.

Namun menurut kacamata biologi evolusioner, konsep monogami tidak seromantis itu. Konsep monogami adalah konsep egois dari pejantan dan betina untuk mendapatkan keuntungan maksimal masing-masing bagi dirinya.

Monogami, termasuk di dalamnya pernikahan, adalah suatu strategi efektif yang memaksa lelaki dan perempuan untuk saling setia satu sama lain. Cinta dalam konsep monogami adalah cinta yang egois, dipenuhi rasa cemburu dan juga posesif. Ketika kamu mencintai pasangan, maka kamu berharap pasanganmu juga balik mencintai dan setia kepadamu. Konsep setia juga bisa diartikan dengan tidak berhubungan seks selain dengan pasangan.

Seperti yang sudah jelaskan sebelumnya, pola pengasuhan ideal bagi spesies manusia adalah dimana Bapak berperan serta dalam merawat dan membesarkan anak. Sang ibu, tidak hanya kesusahan karena harus merawat sang bayi yang masih belum mandiri, namun juga dalam kondisi yang sangat rentan selama proses kehamilan, melahirkan, hingga menyusui. Maka dalam kacamata "untung-rugi", sang ibu tentunya harus "mengikat" sang Bapak supaya ikut bertanggungjawab merawat dan membesarkan anak serta dirinya sendiri. Lalu apa untungnya buat sang Bapak? Sebenarnya, dengan ikut merawat sang anak, sang Bapak juga berusaha memastikan agar anaknya bisa bertahan hidup dan tumbuh dengan baik. Selain itu, dengan turut serta merawat ibu dan anaknya, ia juga bisa memastikan bahwa anak yang dikandung sang ibu adalah benar anaknya, dan sang ibu nggak main api dengan lelaki lainnya. Fair kan? (3).

Konsep transaksional untung-rugi antara laki-laki dan perempuan ini kemudian mendapatkan legitimasinya lewat lembaga pernikahan. Pernikahan adalah sebuah konsep perjanjian sakral dengan Tuhan atau komunitas masyarakat. Dengan adanya pernikahan, maka ada semacam "ikatan" secara sosial dalam menjalankan konsep pembagian tugas tersebut. Pernikahan adalah ketika perempuan "mengikat" sang lelaki untuk berjanji menafkahinya dan anaknya, dan lelaki "mengikat" perempuan untuk hanya setia berhubungan seks dengan sang lelaki - sehingga memastikan anak dalam kandungan sang perempuan adalah anak kandung sang lelaki.

Melalui sudut pandang ini juga kita juga bisa mengambil kesimpulan kenapa "keperawanan" secara evolusi sangat berharga bagi lelaki. Karena dengan memastikan sang perempuan masih perawan, ia mampu meyakinkan dirinya bahwa anak yang kelak dikandung sang perempuan pada hasil persenggamaan adalah benar anak kandungnya dan bukan anak kandung lelaki lainnya yang merupakan saingannya. Adalah sebuah hal yang sifatnya "rugi bandar" ketika sang ayah kelak mengetahui kalau anak yang dirawatnya bukanlah anaknya.

...

APAKAH FITRAH MANUSIA ADALAH MONOGAMI?

Picture: hopesandfears.com
Menjawab dengan pasti pertanyaan-pertanyaan ini tentunya adalah sebuah keniscayaan. Jika ditinjau dari penjelasan saya sebelumnya soal adanya hormon cinta dan konsep untung-rugi antara ibu dan bapak dalam monogami, maka boleh jadi kita akan menjawab bahwa fitrah manusia memang monogami. Berikut ini adalah penjelasan lain yang mendukung argumentasi itu:

Saya pernah membaca penelitian lain yang meneliti kenapa penis manusia tidak mempunyai tulang (baculum). Ini adalah hal yang aneh karena hampir semua mamalia lain mempunyai baculum, termasuk sepupu primata kita seperti gorilla dan simpanse. Menurut penelitian tersebut, ini ada hubungannya dengan pola monogami sebagai strategi manusia bereproduksi sejak kita (homo sapiens) masih disebut homo erectus sekitar 1,9 juta tahun yang lalu. Strategi monogami membuat persaingan di antara lelaki untuk mendapatkan wanita tidak terlalu kompetitif, sehingga baculum yang berfungsi membantu penetrasi dalam proses reproduksi pun menghilang dari penis manusia. Selain tidak punya baculum, strategi reproduksi monogami juga menyebabkan testikel manusia cenderung kecil. Bandingkan dengan simpanse yang menjalani konsep promiscous mating (berganti-ganti pasangan) yang punya ukuran testikel sebesar otaknya, karena mereka "harus" menghasilkan banyak sperma untuk berhubungan dengan banyak wanita. (5). 

Dalam hubungan sebab-akibat yang tumpang tindih (apakah kita monogami dahulu baru organ reproduksi pria seperti itu, ataukah sebaliknya organ reproduksi pria seperti itu dahulu baru kita bermonogami), yang jelas organ reproduksi manusia pria telah "membatasi" pola perilaku seksual berganti-ganti pasangan.

Sebuah penelitian yang menarik lainnya juga mengungkapkan sebuah hipotesis mengejutkan kenapa manusia mengembangkan konsep pernikahan dalam norma masyarakat. Alasannya sama sekali bukan perkara romantis, namun untuk mencegah penularan penyakit seksual! Pada masyarakat berburu dan pengumpul, manusia berkelompok dalam jumlah kecil - dimana sejumlah lelaki bisa melakukan hubungan seks dengan banyak perempuan. Karena jumlah anggotanya yang kecil, maka penularan penyakit seks tidak mempunyai efek yang signifikan. Namun, saat menerapkan konsep agrikultur dimana jumlah anggota dalam satu komunitas cenderung makin besar, menjalani poligami beresiko meningkatkan penularan penyakit seksual seperti siphilis, clamydia, dan gonorrhea. Hal ini akhirnya membuat manusia mengembangkan perilaku monogami sebagai jalan keluar yang lebih baik. (6).

Lalu, fitrah manusia benar monogami donk?

Entahlah. Argumen-argumen di atas tampaknya memang mendukung fitrah manusia adalah pelaku monogami, namun saya kerap menyangsikan ini setelah melihat banyaknya perceraian, atau pernikahan yang fucked-up banget, atau banyaknya orang yang selingkuh dimana-mana....

Sebagai argumen kontra dari penjelasan yang sudah saya ungkapkan sebelumnya, kita perlu mengingat bahwa sistem reproduksi dan perilaku seksual antara lelaki dan perempuan yang berbeda. Dalam kaitannya dengan menghasilkan dan membesarkan anak, lelaki hanya berkontribusi sangat sedikit: sebatas mengeluarkan sperma dalam rahim perempuan. Sementara itu, perempuan memiliki kontribusi yang sangat besar: menghasilkan ovum, hamil selama 9 bulan, proses melahirkan yang sangat berat, hingga proses menyusui dan merawat anak.

Saya sudah menyebut sebelumnya bahwa tujuan hidup makhluk hidup adalah bertahan hidup dan berkembang biak sebanyak-banyaknya. Dalam kaitannya untuk menghasilkan anak sebanyak-banyaknya,  lelaki yang berkontribusi sedikit dalam menghasilkan anak secara "kesempatan" secara untung-untungan harusnya bisa "membuang benih" sebanyak-banyaknya untuk menghasilkan keturunan sebanyak-banyaknya. Sementara perempuan tidak punya kesempatan seperti itu karena harus hamil, melahirkan dan menyusui... maka investasi yang terbaik bagi wanita adalah kebalikan dari pada lelaki: berkonsentrasi pada anak yang dikandungnya.

Karena itulah, kurang lebih hal di atas bisa menjelaskan kenapa lelaki mesum (dan cenderung lebih mudah berselingkuh) dan perempuan matre. Lelaki mesum karena keuntungan evolusi mendorong dirinya untuk berinvestasi dengan membuang benih sebanyak-banyaknya. Sedangkan perempuan matre, karena dengan menemukan lelaki "berkecukupan", hidupnya dan anaknya akan jauh lebih terjamin. Hal ini juga sedikit banyak bisa menjelaskan kenapa lelaki suka berkompetisi dalam kekuasaan dan kekayaan, karena hal ini memungkinkannya untuk memperoleh akses seks yang lebih banyak. Sedangkan perempuan dengan kekuasaan dan kekayaan cenderung melakukannya untuk kepentingan dirinya sendiri (dan anaknya). Lelaki, juga cenderung lebih tidak selektif dalam memilih pasangan, karena dalam pemikiran "investasi sebanyak-banyaknya", makin banyak ia membuang benih maka keturunannya pun akan jadi makin banyak. Sementara perempuan harus selektif karena keinginan bahwa anaknya nanti akan mewarisi gen yang baik dari bapak dengan kualitas gen yang baik. (4). Well, penjelasan ini adalah hal yang sangat mungkin ditentang oleh feminis di seluruh dunia. Tapi, pada akhirnya manusia adalah budak dari gennya sendiri.

Sekilas penjelasan di atas seperti mendukung premis "lelaki lebih mudah selingkuh daripada wanita". Sebenarnya tidak ada data penelitian yang benar-benar valid dan benar tentang hal itu, atau apakah lelaki memang punya nafsu seksual lebih besar daripada wanita. Malah konon katanya keduanya punya nafsu seks sama besarnya. Namun saya pernah membaca sebuah penelitian lain (lupa dimana nemunya), bahwa dalam kehidupan biara lelaki dan perempuan yang harus melakukan selibat (pastor dan biarawati), yang cenderung untuk melanggar janji selibatnya adalah.... laki-laki. Mungkin ini berkaitan juga dengan bentuk organ lelaki dan perempuan yang berbeda, dimana lelaki yang "bernafsu" lebih terlihat secara fisik (ereksi) dibandingkan perempuan yang tidak terlihat tanda-tandanya. Well, di sini saya tidak sedang berusaha menjustifikasi bahwa "lelaki emang wajar untuk berselingkuh" atau "perempuan tidak selayaknya memendam seksualitasnya" lho.

Selain faktor di atas, banyak penelitian yang juga menunjukkan bahwa cinta punya semacam kadaluwarsa. Fase yang kita sebut "fallin in love" umumnya hanya bertahan selama 2-4 tahun. Helen Fisher sendiri mengajukan hipotesis bahwa waktu 4 tahun ada hubungannya dengan waktu yang dibutuhkan seorang anak paling membutuhkan asuhan ayah dan ibunya. Pudarnya perasaan "jatuh cinta" saya rasa juga merupakan salah satu hasil dari kemampuan otak manusia untuk beradaptasi, yang efek buruknya akhirnya menghasilkan rasa bosan.

Argumen kontra lainnya saya dapat dan simpulkan dari pendapat sejumlah para pakar dalam sebuah artikel di hopesandfears.com. Manusia, tidak secara natural monogami. Malahan monogami adalah sesuatu sifatnya baru dalam peradaban manusia (hanya 20% dari masyarakat berteknologi primitif yang menjalankan monogami). Belum lagi adanya dimorfisme, dimana ukuran tubuh lelaki manusia lebih besar daripada wanita yang berhubungan dengan poligini - persaingan antar jantan untuk memperebutkan wanita. Kalaupun ada kecenderungan untuk monogami, ini lebih disebabkan adanya aturan kulturan dan norma sosial yang mendorong ini. Aturan soal seks demikian sangat ketat, dan aturan ini tidak akan ada jika memang dorongan ke arah non-monogami itu tidak ada. Namun, David P. Barash mengungkapkan, sekalipun monogami bukanlah sesuatu yang sifatnya natural, tidak berarti hal itu tidak bisa dipaksakan demi mendapatkan keuntungan yang lebih baik.

Lalu bagaimana dengan poligini?

Dari kacamata antropologi, sebuah penelitian menyebutkan bahwa 85% dari masyarakat di dunia mempunyai konsep poligini (lelaki dengan banyak wanita). Akan tetapi setahu saya, poligini hampir selalu melibatkan sang Bapak yang punya cukup materi untuk diberikan kepada istri-istri dan anak-anaknya. Pada kondisi masyarakat jaman dahulu kala, yang poligini biasanya lelaki-lelaki yang punya status, kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan. Tengoklah raja-raja, kepala suku, atau bahkan nabi Muhammad yang memang merupakan seorang penguasa di bidang politik dan agama. Dalam konsep "untung-rugi" yang sebelumnya saya terangkan, sang betina dan sang pejantan masih bisa mendapatkan keuntungan sesuai kepentingannya masing-masing.

...

CASUAL SEX : MEMBEDAKAN NAFSU DAN CINTA


"Men use love to get sex, Women use sex to get love.."
Pertanyaan berikutnya adalah, jika memang evolusi menghasilkan hormon cinta, kenapa orang bisa berhubungan seks tanpa melibatkan cinta (casual sex)? Casual sex adalah seks tanpa ikatan, atau seks tanpa cinta. Bentuknya bisa macam-macam: one night stand, fuck-buddy, hingga friends with benefit. Bagaimana membedakan nafsu seks dengan cinta? Apakah orang bisa berhubungan seks tanpa melibatkan atau menimbulkan cinta sama sekali?

Sesungguhnya, menjawab pertanyaan ini juga tricky. Pertama, karena saya ga punya pengalaman untuk menjawab ini (haha). Kedua, karena saya masih sangat konservatif dan old-school perkara ini. Ketiga, apapun jawaban generalisasi yang saya jelaskan, tidak semua orang akan setuju. Pasti orang akan membaca argumen saya lalu mencocokkannya dengan pengalaman pribadinya, membuat susah untuk menjawabnya dengan benar dan memuaskan banyak orang.

Ngomongin casual sex atau bahkan pre-marital sex yang terjadi saat ini, tidak bisa tidak melihat konteks sosio-historis yang terjadi di dunia. Ada revolusi seksualitas di dunia. Orang tidak lagi memandang seksualitas sebagai doktrin yang tabu dan konservatif - orang merayakannya sebagai sebuah kebebasan. Dari aspek kultural, "free-sex" ini juga berkaitan dengan gerakan feminisme: bahwa perempuan bukanlah obyek seks, namun juga subyek. Selain itu, ada pergeseran paradigma saat ini yang menganggap seks sekedar aktivitas fisik, seks adalah kebutuhan, dan seks itu menyenangkan. Hal-hal seperti inilah yang mungkin bikin ibu-ibu paranoid akan mengelus dada melihat "pergaulan kids jaman now". "Free-sex" ini juga berkaitan erat dengan kemajuan teknologi yang tidak ada di masa lalu: kontrasepsi. Sungguh, penemuan kontrasepsi ini adalah kemajuan ilmu pengetahuan yang berdampak paling masif dalam perubahan cara pandang seksualitas. Cara pandang ini tentu mempengaruhi penilaian orang bahwa "sex without love is okay".

But really? Apakah casual sex without love beneran bisa?

Sungguh menjawab ini juga susah karena setiap penelitian yang dilakukan bias terhadap nilai-nilai moral dan sosial yang dipegang masing-masing orang. Manusia adalah budak dari gennya, namun nilai-nilai luar yang tertanamkan ke kita juga mempunyai efek yang sama besarnya. Contohnya, budaya patriarki di masyarakat yang membuat lelaki bangga dengan sifat-sifat maskulinitasnya (sehingga cenderung terbuka terhadap sex dan cowok yang bisa nidurin banyak cewek itu keren) sementara perempuan yang lebih terbuka dengan seksualitasnya akan mengalami slut-shaming. Lelaki kemudian terbiasa untuk mewajarkan hasrat seksnya, sementara perempuan harus menutupi hasrat seksnya.

Namun, jika ditinjau dari skala evolusi manusia, seks hadir dulu daripada cinta. Karena itu seharusnya kita tidak heran bahwa deep down in our brain ada nafsu seks yang jauh lebih purba dari romantic emotional. 

Saya juga uda bahas soal bagaimana lelaki dan perempuan berbeda dalam proses reproduksi dan perilaku seksualnya. Lelaki, secara desain, memungkinkannya untuk lebih mudah berselingkuh dan lebih mesum daripada perempuan. Dalam kaitannya dengan "menyebar benih sebanyak-banyaknya", lelaki juga cenderung tidak selektif dalam memilih perempuan untuk menjadi partner sexnya. Semakin banyak semakin bagus. Beda dengan perempuan yang harus selektif karena perempuan secara evolusi harus mencari lelaki yang bisa memberikan dukungan yang baik bagi dirinya dan anaknya. Setelah berhubungan seks, diketahui juga bahwa kadar hormon oksitosin (hormon cuddling) pada lelaki cenderung lebih rendah daripada perempuan. Jadi dari sononya, perempuan after have sex relatif jadi lebih "baper" daripada laki-laki.

Sebuah penelitian dilakukan untuk melihat kecenderungan lelaki dan perempuan dalam menerima ajakan casual sex dari orang asing. Seorang lelaki dan perempuan asing dengan random mengajak sejumlah lelaki dan perempuan di jalan untuk "have sex". Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa jika yang mengajak perempuan cantik, maka lelaki yang menerima ajakannya sejumlah 83% dan 60% untuk perempuan yang mukanya biasa aja. Sementara hasilnya untuk perempuan? 0% (untuk cowok asing yang mukanya biasa aja) dan 3% (untuk cowok yang ganteng). Penelitian ini secara tidak langsung membuktikan bahwa perempuan lebih ogah terhadap casual (or random) sex dibandingkan lelaki. (7). Sebenarnya penelitian ini bias juga sih, karena berkaitan dengan image bahwa ada cowok asing tiba-tiba ngajak have sex pasti sexual predator. Seram!

Sebuah studi lain mengungkapkan bahwa lelaki yang atraktif (alpha-male type, berkuasa, punya duit, tampan, secara fisik kuat) memiliki pengalaman casual sex yang lebih banyak daripada mereka yang tidak. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Loyola Marymount University juga mengungkapkan kesimpulan lain: lelaki yang atraktif tidak hanya punya pengalaman sex lebih banyak, namun juga menginginkan casual sex lebih banyak. Ini tentu sangat sesuai dengan konsep evolusi: untuk mendapatkan banyak keuntungan reproduktif, lelaki harus "menebar benih sebanyak-banyaknya". Strategi ini berbeda jika sang lelaki tidak atraktif, secara tidak sadar otaknya akan berkata, "Daripada buang-buang waktu dan energi menginginkan sesuatu yang tidak bisa saya lakukan (karena perempuan akan mencari lelaki yang superior), lebih baik saya fokus pada strategi long-term relationship,".

Makanya hai para perempuan, carilah lelaki yang biasa saja karena biasanya lebih setia ~

Lalu bagaimana dengan para perempuan? Perempuan yang atraktif (cantik) memang akan didekati oleh banyak lelaki - yang memungkinkannya untuk memiliki kesempatan pengalaman casual sex / short-term relationship lebih banyak daripada perempuan lainnya yang kurang atraktif. Namun, perempuan yang kurang atraktif bisa juga mendapatkan banyak casual sex jika mereka menginginkannya. Namun secara evolusi, tidak ada keuntungan bagi perempuan untuk menjalani hubungan jangka pendek seperti itu. Hal ini sesuai dengan survey yang kemudian dilakukan, bahwa perempuan yang atraktif tidak menginginkan seks yang lebih banyak sebagaimana yang terjadi pada lelaki atraktif. Jadi, attractiveness seorang perempuan tidak berkorelasi dengan keinginan casual sex lebih banyak.

Jadi, apakah cuma lelaki yang bisa melakukan seks tanpa perasaan?



Menariknya, berkebalikan dengan kepercayaan umum, mereka yang tertarik melakukan seks tanpa komitmen tidak otomatis membuat mereka tidak tertarik dengan hubungan jangka panjang. Faktanya, mereka yang menginginkan casual sex juga menginginkan romantic sex. Hubungan jangka panjang juga adaptif bagi setiap manusia. Bahkan, lelaki yang sangat "hot" pun mendapatkan keuntungan banyak dari hubungan jangka panjang, seperti proses membesarkan anak yang lebih baik dan mendapatkan kebutuhan emosional. (8). Hmmm.... ini membuat saya teringat dengan banyaknya lelaki yang selingkuh tanpa perasaan, namun masih tetap berusaha bertahan dengan keluarga dan istri utamanya. Sounds not fair, I know....

In fact, sebuah penelitian terbaru dari Concordia University mengungkapkan bahwa cinta dan hasrat seks berasal dari bagian otak yang berbeda, namun bisa overlap. Ini tidak berarti bahwa cinta dan seks adalah 2 hal yang sama, namun mereka tidak terlalu berbeda seperti yang dibayangkan sebelumnya. Cinta dan seks, rupanya bisa saling tumpang tindih dan susah dibedakan. So, based on this study, cinta bisa tumbuh dari lust, demikian pula sebaliknya. Jadi, ketika kita kamu baper setelah melakukan hubungan seks, itu bukan berarti kamu needy - tapi justru otakmu bekerja normal. Dan kalau menurut penelitian ini,melakukan hubungan seks sebelum menjalani hubungan emosional tidak berarti menggagalkan kemungkinanmu untuk mendapatkan cinta yang sebenarnya karena telah melakukan hubungan fisik terlebih dahulu. (9). (*Ngomong-ngomong, saya membayangkan orang-orang yang sevisi dengan AILA Indonesia akan membaca ini sambil berkata "Astaghfirulloh....").

Saya jadi teringat sebuat golden rule di forum-forum kehidupan malam para pria-pria hidung belang yang pernah saya baca (Saya tahu, saya emang kurang kerjaan banget jadi silent reader baca forum-forum mesum beginian). Aturan itu adalah, jika mau pakai wanita panggilan, jangan RO (repeat order) lebih dari 3 kali supaya nggak timbul perasaan. Hmmmm... ini menjadi salah satu bukti bahwa kadang lelaki nakal pun tetap aja bawa perasaan dan tidak bisa membedakan mana nafsu doank mana cinta.

Berkaitan dengan overlapping antara seks dan cinta serta adanya hormon oksitosin yang timbul saat berhubungan seks, saya merasa inilah yang terjadi pada mereka yang mengalami proses taaruf atau indahnya pacaran setelah menikah. Sebagai orang yang menganggap pernikahan hendaknya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, saya suka dibikin bingung dengan mereka yang taaruf yang di mata saya seolah-olah "menikah dengan orang asing... dan malam pertama dengan orang asing...". Hiiiiii.... kan awkward ya? Tapi saya suka denger mereka yang taaruf bisa menjalankan pernikahan mereka dengan sangat bahagia, dan menyukai proses pacaran setelah menikah. Selain karena dogma soal menikah sebagai bagian dari agama, saya rasa ini ada hubungannya secara biologis dengan hal-hal di atas. Dua orang yang tidak pernah melakukan hubungan seks, lantas melakukan hubungan seks untuk pertama kali, keluarlah hormon oksitosin di otak mereka.... sehingga mereka bisa merasakan cinta setelah menikah.

(Tapi... saya sendiri sih kayaknya ga mungkin. I have a specific type, saya punya kecenderungan untuk hanya bisa jatuh cinta dengan orang-orang tipe tertentu. Dan tipe-tipe tertentu itu biasanya ga mungkin ikutan taaruf! Hahahaaha....)

...

LOVE FROM MY PERSPECTIVE

Mungkin ada yang kemudian bertanya-tanya bagaimana pandangan saya soal seks dan cinta, berhubung saya bisa sangat analytical soal 2 hal ini. Saya suka discuss soal ini dengan ibu saya (we are a weird family, atau saya aja yang orangnya kelewat terbuka ngobrolin beginian ama orangtua!), dan hal ini bikin ibu saya khawatir anaknya bakalan frigid karena terlalu "ilmiah" soal ini. Apakah hal ini bikin saya jadi tidak percaya cinta dan menganggap cinta cuma ilusi di kelapa? Iyes. Tapi toh pada kenyataannya saat ini saya sedang jatuh cinta, dan saya menikmati ilusi ini... saya biarkan aja perasaan emosional ini mengalir dan membuat hidup saya bahagia. Just because you know something isn't really-really "real", doesn't mean I can't enjoy it.

Selain itu, dengan mengetahui hal-hal seperti ini bisa membantu saya memahami hubungan dan membantu meningkatkan kualitas hubungan saya dengan pasangan. Dan.... berhubung saya hobi kepo urusan rumah tangga orang lain dan melakukan serangkaian analisa, mengetahui hal-hal ini bisa bikin saja punya nasehat yang baik. Beh. Harusnya dulu saya masuk psikologi. Ngapain juga masuk teknik!

SUMBER :

(1) Asal Usul Manusia : Richard Leakey. Penerbit KPG.
(2) https://www.psychologytoday.com/blog/head-games/201405/do-differences-in-testosterone-explain-relationship-quality)
(3) Mengapa Seks Itu Asyik : Jared Diamond. Penerbit KPG.
(4) Virus Akal Budi : Richard Brodie. Penerbit KPG.
(5) https://www.theguardian.com/science/2016/dec/14/why-dont-humans-have-a-penis-bone-scientists-may-now-know-baculum
(6) http://www.independent.co.uk/news/science/humans-monogamy-marriage-stis-sexual-diseases-a6982531.html
(7) https://www.psychologytoday.com/blog/homo-consumericus/201105/sex-differences-in-accepting-solicitations-casual-sex
(8) https://www.psychologytoday.com/blog/strictly-casual/201405/which-us-craves-casual-sex-more
(9) https://www.huffingtonpost.com/2012/07/09/from-sex-to-love-emotional-attachment-sexual-desire-brain-dating_n_1659334.html

Komentar

  1. Luar biasa dan semuanya adalah benar ;)
    Kenyataan yang terjadi, diakui atau tidak, yang ditulis di atas ya realitanya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer