Sains dan Agama

Sebelumnya, perlu saya jelaskan terlebih dahulu bahwa saya menulis ini bukan dalam rangka "memberitahu", namun dalam rangka mengekspresikan isi otak yang nggak karuan. Saya tidak hendak menulis jurnal ilmiah dengan kajian - kajian dan referensi ilmiah, tapi lebih bersifat opini dan rangkuman dari apa-apa yang telah saya pelajari, pahami dan renungkan (*tsahhh.. berat!). Jadi, kalau ada apa-apa yang kurang, bisa tolong koreksinya :D


Suatu ketika saya nulis status di halaman facebook saya, tentang bagaimana ada 2 hal yang tampaknya memang tidak bisa berjalan bersama-sama. Saya kasih 2 contoh. Contoh pertama, orang yang mencintai kekuasaan tidak akan bisa sekaligus mencintai kedamaian (Macbeth-nya Shakespeare?). Contoh kedua: sains dan agama. Contoh terakhir inilah yang kemudian menimbulkan pro-kontra di status saya itu, kebanyakan yang ribut adalah yang kontra. Banyak yang tidak terima bahwa saya mengatakan sains dan agama berbeda jalan hidup... Namun tentu saja saya nulis begitu bukan karena saya ga ada landasan berpikir.

Sebenarnya perdebatan sains dan agama adalah perdebatan yang sudah kelewat usang. Perdebatan ini sudah melegenda dalam kasus Galileo, misalnya. Ketika gereja mengatakan matahari mengelilingi bumi, Galileo justru mendukung Copernicus yang mengatakan bahwa bumi lah yang mengelilingi matahari. Kasus itu menjadi contoh klasik perseteruan antara otoritas agama dengan kebebasan berpikir. Atau dalam hal ini, menjadi agama versus sains. Galileo versus gereja ini telah terjadi berabad-abad silam di dunia Barat, dan seiring dengan waktu sains Barat telah tumbuh kembang menjadi sains modern yang dalam perjalanannya kemudian "mengalahkan" ajaran agama. Ketika dunia barat sudah dewasa, Indonesia yang mayoritas penduduknya religius (atau dipaksa relijius, karena kita wajib meyakini sila 1 Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa dan wajib cantumin agama di KTP), yaaa.. boleh dibilang lebih terlambat dibandingkan dunia barat dalam pengembangan sainsnya.

Beberapa orang mengatakan bahwa sains barat adalah sains tulen, artinya sains barat berhasil bersikap sekuler, atau memisahkan sains dari ilmu dan dogma agama. Sementara di Indonesia sendiri, saya masih melihat banyaknya scientist agamis (semacam Harun Yahya?). Ketika scientist barat seperti Stephen Hawking telah mengakui diri menjadi atheis, scientist Indonesia beranggapan bahwa science adalah ilmu alam yang "sekedar" mempelajari ciptaan Tuhan. Namun, bagi saya pribadi, scientist agamis adalah mereka yang menerapkan standar ganda, atau takut untuk merubah kepercayaan. Ketika Anda mengimani sains, mustahil untuk sekaligus mengimani agama (bukan Tuhan lho ya). Kenapa? karena dua hal itu - sains dan agama - punya penalaran yang jauh berbeda. Terutama, karena saya merasa bahwa ajaran agama yang usianya sudah beratus-ratus tahun itu, tidak relevan dengan perkembangan dunia saat ini. Maaf, tapi toh ini pendapat pribadi.


Sains mendasarkan segala sesuatu berdasarkan dari bukti empiris, pengalaman, hingga panca indera. Dalam menelurkan suatu teori, seorang scientist harus melakukan serangkaian hipotesa dan metodologi untuk menguji teorinya. Ketika teori ini kemudian dianggap relevan (belum ada teori sains lain yang membantahnya), maka teori tersebut dianggap benar. Intinya, suatu teori dalam sains harus melalui proses yang panjang untuk bisa dinyatakan benar. Apakah ini kebenaran mutlak? Belum tentu, namun seiring waktu sains bersifat sangat fleksibel menyikapi teori-teorinya. Ketika ada teori yang membantahnya, maka teori tersebut dinyatakan gugur, dan sains bisa move on dengan mudah.

Bandingkan dengan agama. Agama mendasarkan segala sesuatunya pada dogma dan iman. Sebagai contoh semenjak kecil, saya yang dididik Islam telah diajari tentang sifat-sifat Tuhan, cerita-cerita Nabi, mukjizat Nabi, kebenaran Al-Quran, surga - neraka, dan lain sebagainya dengan mengimaninya. Tidak dengan proses nalar kritis. Misalnya, apa bisa saya bertanya ke guru ngaji saya, kalau surga itu memang ada, mana buktinya? Ketiadaan bukti tidak menjadi alasan untuk tidak mengimani. Dengan adanya ketiadaan bukti, bagaimana cara menjejalkan ilmu-ilmu ini ke otak manusia? Dengan serangkaian dogma. Sebagai contoh: konsep reward and punishment. Contoh gampangnya: kalo kafir masuk neraka, kalo Islam/Kristen/dkk masuk surga! Tidak percaya adanya nabi Adam dosa! Ketika ada orang yang bersikap sedikit mengkritisi ajaran agama, tentu saja kaum agamis langsung marah-marah. Karena sedikit "kesalahan" dalam "kebenaran mutlak" yang mereka yakini tentu saja akan merubuhkan kebenaran mutlak dari ajaran yang mereka percayai. 



Saya kasih contoh soal evolusi. Evolusi yang pertama kali dicetuskan Darwin ini memicu konflik berkepanjangan antara sains dan agama. Sains meyakini evolusi, berbagai penelitian dari berbagai macam ilmu pengetahuan tampak relevan jika mengikuti kerangka berpikir teori evolusi. Evolusi menjelaskan dengan ilmiah kenapa manusia, hewan dan tumbuhan beraneka ragam. Tentu saja teori evolusi ini bisa diyakini begitu banyak orang karena ada bukti-bukti yang (sejauh ini) tidak terbantahkan. Teori ini tentu saja membuat kaum agamis gusar, karena pada agama monoteisme (Yahudi, Kristen, Islam) - mereka mempercayai gagasan manusia berasal dari nabi Adam (Creationism). Gagasan ini dapat darimana? Karena tertulis di kitab suci. Kaum agamis tidak pernah capek-capek membuktikan apakah nabi Adam ada, kecuali sibuk membantah mereka yang mempercayai teori evolusi dengan serangkaian argumen yang (sejujurnya) terasa lemah. Masih percaya kalo manusia berasal dari monyet kenapa monyet masih ada? Coba banyak baca yak!

Dari contoh kasus ini, menurut saya bisa terlihat bahwa Anda yang telah mempercayai teori evolusi, mustahil juga untuk mempercayai teori penciptaan manusia dari tanah. Scientist sejati (menurut saya lho) tentu tidak akan pilih-pilih teori mana yang ia percayai. Ketika Anda menganggap para scientist melakukan konspirasi besar dalam evolusi untuk menyekutukan Tuhan - lalu kenapa Anda bisa mempercaya teori-teori lain yang dihasilkan oleh para scientist itu? Seperti gravitasi misalnya. Kaum agamis sendiri juga saya rasa di tengah perkembangan ilmu pengetahuan sebegini dahsyatnya, mau tidak mau tidak bisa mengandalkan ajaran-ajaran kolot untuk melindungi agamanya, karena ajaran seperti itu hanya akan menjadi bahan tertawaan mereka yang telah mengenal sains, dan bahkan saya (sedikit) yakin bahwa ajaran agama seperti itu tidak akan relevan dan bisa jadi musnah. (Saya katakan sedikit yakin, karena saya masih dalam proses pembelajaran tentang ini semua, dan mengatakan 100% yakin bisa jadi menjadi kesombongan diri). 

....
Lalu, apakah Sains dan Agama bisa bersahabat?
Untuk bersahabat mungkin masih bisa, namun untuk menikah tampaknya ga bakalan bisa (bisa cerai kalik). Karena sekali lagi sains dan agama memiliki wilayah yang jauh berbeda, dengan metodologi yang jauh berbeda. Beberapa orang bikin lelucon bahwa ada cabang ilmu yang menyatukan agama dengan sains, yakni cocoklogi (alias cocok-cocokan aja). Beberapa juga mengatakan bahwa ketidakbisaan sains dalam mengungkap suatu hal lantas dengan mudah disebut sebagai misteri Tuhan (God of The Gaps). Namun misteri Tuhan ini sendiri seiring kemajuan peradaban telah tereduksi. Sebagai contoh, manusia dulu menganggap matahari sebagai Tuhan. Namun seiring waktu kita sadar itu cuma bola panas raksasa.

Walaupun saya merasa sains adalah sesuatu yang lebih bisa saya percayai, tapi agama telah menjadi bagian dari kehidupan manusia berabad - abad, dan tentu itu ada alasannya. Agama, telah menjadi salah satu (saya tegaskan salah satu!) instrumen yang mengatur kehidupan manusia. Memberikan tujuan hidup ketika manusia bertanya tentang hakikat hidup dan dirinya sendiri. Sebagai salah satu kontrol sosial. Ber-Tuhan merupakan naluri manusia untuk membuat hidup kita lebih tenang dan damai (saya bukan atheis, gagasan tidak ada Tuhan bikin saya takut sendiri) dan pada akhirnya menjadi salah satu landasan bagaimana kita hidup sebagai makhluk sosial. Namun mereka yang mempercayai sains, sebagaimana saya (saat ini), sulit untuk tidak bertanya hal-hal krusial yang diajarkan oleh agama - yang kadang tidak masuk akal sama sekali. Sekali kamu bersikap skeptis, mustahil untuk kembali lagi...

Komentar

Postingan Populer