Kasus Mirna : Kenapa Kita Menghakimi Jessica

Tulisan ini merupakan tulisan yang saya buat untuk proyek blog bersama tulisanperempuan.com.  

jessica wongso

Jessica Wongso, yang menjadi tersangka kasus pembunuhan Mirna saat tulisan ini ditulis
Selain kasus dugaan pencabulan yang dilakukan salah satu artis tanah air, kasus yang belakangan gencar menjadi pemberitaan di media Indonesia saat ini adalah kasus kematian Mirna setelah minum kopi Vietnam di sebuah kafe di Grand Indonesia. Polisi menduga ada racun sianida dalam kopi yang diminum Mirna, dan racun itu bisa ada di situ tentu karena ada pelaku yang memasukkannya. Kasus ini kemudian boleh dibilang menjadi trending topic, apalagi setelah kawan Mirna yang ikutan minum di kafe itu, Jessica, kemudian ditetapkan menjadi tersangka. Hampir setiap hari saya nonton channel berita di TV lokal, beritanya tidak jauh dari itu. Intinya, pemberitaan di semua media ini begitu menyudutkan Jessica yang diduga sebagai pelakunya, bahkan sebelum ditetapkan tersangka - nama Jessica sudah populer duluan sebagai terduga pelaku. Mulai dari Bapak Mirna yang kemudian memberikan kesaksian seputar hubungan "terlarang" antara Jessica dengan anaknya, meme-meme bertebaran dengan wajah Jessica yang ngajak ngopi, serta opini publik yang digiring oleh media seolah-olah kelakuan Jessica yang kelewat tenang saat kejadian merupakan tanda-tanda psikopat, atau kepribadian ganda dan segala macam. Whew, seru banget kan?
Saya di sini bukan bermaksud memberikan argumentasi forensik, kriminal, dll seputar siapakah pelaku pembunuhan Mirna atau apakah Jessica pelakunya. Saya jelas tidak cukup punya kapabilitas di bidang itu (Conan mana Conan?). Namun, saya tertarik tentang bagaimana kasus ini tiba-tiba menjadi kasus nasional yang diberitakan sedemikian masif oleh seluruh media massa. Berhubung di rumah saya Bapak saya hobi nonton TV One, TV itu begitu gencar setiap saat memberitakan perkembangan terbaru soal kasus ini hingga ngadain ILC khusus untuk kasus ini. Jujur, saya eneg. Tapi saya penasaran juga. Dan saya yakin sebagian besar orang pasti punya pikiran yang sama dengan saya.
Entah karena kebanyakan baca komik Detektif Conan (apalagi kasus ini melibatkan sianida yang menjadi alat pembunuhan favorit di komik itu), atau kebanyakan nonton acara-acara kriminal seperti CSI, Law and Order hingga Criminal Minds, tapi kasus ini seperti menjadi arena main detektif-detektifan bagi sebagian besar orang. Kita kayak lagi nonton film. Kita mengumpulkan bukti (yang baru secuil dari rilis polisi), menduga-duga motif, lalu masing-masing orang punya skenario siapakah pelaku pembunuhan itu. Persis kayak nonton film, dan kita penasaran sama endingnya. Sebagian besar menduga Jessica adalah pelakunya - ini adalah kasus sederhana, lantas "berandai-andai" bahwa Jessica psycho seperti Hannibal Lecter. Sebagian lagi menyangsikan bahwa Jessica pelakunya, dengan argumentasi-argumentasi tandingan yang bikin cerita makin seru. Saya pribadi - dengan begitu jahat - merasa jika Jessica pelakunya, cerita detektif ini seperti film yang naskahnya amatir, mudah ditebak dan membosankan. Kurang seru, dan sebagai "penonton" kita butuh "twist" di akhir. Dan sedihnya, kejadian ini terjadi di kehidupan nyata. Sehingga apa yang saya lakukan ini - main detektif-detektifan - ini seperti kurang empati terhadap korban, anggota keluarga, maupun saksi dan tersangka yang ada. Entah bagaimana ending kasus ini, tidak akan berakibat baik bagi mereka yang terlibat. Sedangkan kita penonton di rumah, nggak ngefek apa-apa.
Well, apakah hidup kita sebegitu membosankannya sehingga kasus ini sebegitu menarik perhatian kita?
Terlepas dari Jessica bersalah atau tidak, bagaimana publik sudah begitu liarnya menghakimi Jessica ini mengingatkan saya akan 2 film.
*Hehe.. berhubung saya suka film, jadi saya suka mengaitkan banyak hal dengan film yang sudah saya tonton.
the hunt film

Mads Mikkelsen as Lucas in The Hunt (Jagten). Guru TK yang nasibnya jadi hancur gara-gara dituduh melecehkan muridnya. Penonton ikutan stress nontonnya

Yang pertama adalah The Hunt (2013), film Denmark dengan Mads Mikkelsen sebagai aktor utamanya. Mads Mikkelsen berperan sebagai Lucas, guru TK yang dituduh mencabuli anak didiknya sendiri yang merupakan anak sahabatnya. Kalo nonton film ini, dari awal kita sudah tahu bahwa tuduhan itu semata-mata cuma kesalahpahaman, sehingga sepanjang film kita akan dibuat bersimpati dengan tokoh Lucas yang dihakimi oleh orang-orang di kotanya. Intinya, kehidupannya hancur total - padahal dia tidak bersalah. Namun, tidak ada ruang ampun bagi society untuk sedikit berpikiran bahwa dia tidak bersalah. Cerita ini secara garis besar sama saja dengan apa yang sedang sebagian masyarakat lakukan terhadap Jessica. Asas praduga tak bersalah dalam hukum seolah-olah tidak berlaku di ruang penghakiman masyarakat. Terlepas dari Jessica bersalah atau tidak, masyarakat sudah melakukan penghakimannya sendiri kepada sosok Jessica - ditambah lagi dengan gencarnya pemberitaan media menyudutkan Jessica (pun ditambah sang Bapak yang bikin cerita makin seru). Makin panas kan?
Film kedua adalah film kontroversial dari sutradara Stanley Kubrick yang berjudul A Clockwork Orange (1971), yang merupakan adaptasi novel Anthony Burgess. Pecinta film harusnya tau film ini ,tapi berhubung film ini karya klasik, jelas film ini agak terlalu susah dipahami buat penonton awam (termasuk saya). Film ini menceritakan tentang seorang kriminil sosiopat bernama Alex yang "diobati" dengan eksperimen aneh milik pemerintah untuk bisa merubah sifat jahat manusia menjadi baik.  Alex menjadi sosok anti-hero yang menjadi tokoh utama cerita, dan memberikan dilema moral bagi penonton. Ia adalah orang yang luar biasa jahat, kemudian masuk penjara, namun setelah keluar penjara dan jadi "nice-guy" malah menerima kesialan bertubi-tubi. Alex adalah the evil di cerita ini, namun secara implisit Kubrick mencoba memberikan petunjuk bahwa Alex boleh jadi jahat, namun orang-orang yang ada di cerita itu - seperti dokter-suster yang bukannya kerja professional malah "begitu-begitu", perdana menteri yang memanfaatkan Alex untuk kepentingan politiknya, hingga wanita tua yang rumahnya dirusak Alex dan kroni-kroninya yang rupanya mengoleksi benda-benda erotis yang aneh - boleh jadi sama nistanya dengan Alex. But still, Alex is the bad guy. 
Lalu, apa maksud saya? Well - rupanya manusia begitu mudah menghakimi orang lain. Tidak hanya Jessica, namun juga mungkin orang-orang di sekitar Anda yang Anda hakimi juga dengan sewenang-wenang. Tetangga yang tiba-tiba kaya (duitnya korupsi kalik), teman yang belum kawin-kawin (kasihan nggak laku), teman yang tiba-tiba kawin (hamil duluan mungkin), artis yang pindah agama (murtad!), orang gay (menyalahi kodrat Tuhan), dan lain sebagainya. Begitu mudahnya bagi kita menghakimi orang lain, karena melihat orang lain berbuat 'nista' (beehh...) membuat kita merasa lebih baik dengan diri kita sendiri. Walaupun, belum tentu kita lebih suci dari orang yang kita hakimi itu. We're all insecure, and how to deal with that is knowing that we're better than some people. Apakah ini adalah hal yang menyedihkan? Ya. Tapi toh kita cuma manusia....

Komentar

Postingan Populer